Hidup tidak pernah lepas dari masalah. Berani hidup berarti berani menghadapi masalah. Berani menghadapi risiko, betapa pun menyakitkan, betapa pun menyesakkan, bahkan, betapa pun harus menanggung derita.
Takut menghadapi masalah berarti membiarkan beban-kesulitan tetap menekan. Berkelit dari masalah atau menghindar dari masalah-tantangan-cobaan-kesulitan berarti tetap "membiarkan" semuanya menguasai perasaan-pikiran kita.
Sayang, dalam realitas hidup keseharian, lebih banyak orang yang berkelit-menghindar dari masalah. Mereka lupa bahwa berkelit atau menghindari masalah sama halnya "melestarikan" masalah. Berkelit atau menghindari masalah berarti menimbun "bara api" dalam hidup sendiri yang sewaktu-waktu akan "menghanguskan" diri sendiri.
Sisi lain, berkelit atau menghindari masalah menunjukkan lemahnya integritas pribadi. Menunjukkan betapa kita hanya mengandalkan kekuatan dan usaha sendiri dalam pergumulan hidup. Berkelit dan menghindari masalah memanifestasikan ‘dangkalnya" keberagamaan kita. Kita tidak meyakini campur tangan Tuhan dalam seluruh gerak kehidupan. Kita lupa bahwa Tuhan selalu mendampingi-mengarahankan-menuntun langkah kita.
"Pasanglah telinga untuk pengajaran-Ku. Aku mau membuka mulut mengatakan amzal supaya dikenal oleh angkatan kemudian, supaya anak-anak yang akan lahir kelak bangun dan menceritakan kepada anak-anak mereka, supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan-Nya, dan tetap memegang perintah-Nya." (Mazmur 78: 1-3, 7-8)
Banyaknya masalah di dalam hidup bisa memunculkan pikiran-pikiran negatif yang menyebabkan seseorang menjadi cemas, stres, bahkan mengalami depresi obsesif. Hal ini terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pola pikir yang selalu negatif terhadap diri sendiri, dan lingkungan sekitar. Masalah berat ini jika tidak segera diatasi maka bisa memicu terjadinya gangguan serius, seperti depresi.
Cara menghadapi masalah yang berat berikutnya yaitu berusaha untuk selalu bersikap terbuka dan berserah diri. Semakin menghindari masalah dan mencoba menutup-nutupi peristiwa, dapat membuat keadaan kian memburuk. Oleh karena itu, mencoba untuk memaafkan diri sendiri dan menumbuhkan kepercayaan diri menjadi salah satu cara terbaik untuk menghadapi masalah.
Selain itu, bersikap terbuka terhadap orang-orang terdekat seperti sering mencurahkan perasaan dan isi hati bisa menjadi obat psikologis agar suasana hati lebih tenang dan tenteram. Mencurahkan isi hati ini juga bisa dilakukan dengan cara-cara lain seperti menulis, melukis, dan melakukan berbagai aktivitas yang bisa membuat hati lega.
Dalam alur pergulatan dan pergumulan yang demikian niscaya kita membutakan mata hati dan menutup rapat telingan hati kita sehingga "amzal Tuhan" tidak menjadi pijakan-dasar-landasan hidup dan penghidupan kita. Atas nama kesombongan diri inilah kita tidak berkemampuan memancarkan ‘sinar kasih dan kemaharahiman Tuhan".
Artinya, pergumulan dan pergulatan hidup kita tidak menjadi layak untuk diteladani-dicontoh. Kita tidak layak menjadi panutan-kiblat. Daya hidup-daya juang tidak menghkristas dalam hidup hingga tidak "dianggap-diperhitungkan" oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Sahabat, tidak ada ‘saat terlambat' untuk mendirikan rumah di atas batu yang kokoh sentosa. Takkan tergerus arus, takkan roboh oleh terpaan angin. Tidak ada "saat terlambat" untuk mempersilakan Tuhan "menjadi dasar rumah kita": yang akan memampukan kita untuk "rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas" setiap menghadapi masalah-rintangan-tantangan-cobaan.
Atau, akan bertahankah kita dengan "membangun rumah di atas pasir" yang akan roboh dan luluh-lantak karena banjir dan terpaan angin topan.
Sahabat, membangun rumah di atas batu senantiasa "memasang telinga atas pengajaran Tuhan".Peka dan peduli akan tanda-tanda kehadiran dan penyelenggaran ilahi dalam diri kita...
Sikap inilah yang Tuhan rindukan dalam diri kita sebagai ciptaan-Nya. Inilah hidup yang sejati...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar