Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi. Apa pun yang ditemukan oleh tanganmu untuk dikerjakan, lakukanlah itu dengan kekuatanmu. (Pengkotbah 9: 10)
Manusia, terutama orang Indonesia, cenderung memiliki sifat malas. Cenderung menunda-nunda melakukan sesuatu. Pekerjaan di rumah, di sekplah, di kampus, di kantor, atau tempat manapun selalu menunggu deadline.
Tak mengherankan pelajar atau mahasiswa akrab dengan SKS: sistem kebut semalam. Mungkinkah dalam semalam seorang pelajar atau mahasiswa memahami hakikat mataajar atau matakuliah? Mungkinkah dalam semalam seorang pelajar atau mahasiswa menjadi crdas, memiliki keutamaan hidup dari ilmu yang sedang didalami? Mungkinkah dalam semalam seorang pelajar atau mahasiswa dapat mewujudnyatakan dalam kehidupan, pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari?
Pasti tidak... Mengapa? Karena hidup bukan hafalan. Hidup bukan seperti balon yang sekitika dapat diperbesar? Sayangnya, mentalitas pelajar dan mahasiswa sangat kental dan melekat dengan image bangsa Indonesia yang memang suka menunda-nunda pekerjaan.
Itu sebabnya, orang sukses dan orang gagal, terdeteksi dari efektivitas pemanfaatan kesempatan. Pelajar atau mahasiswa yang selalu menyusun target prestasi (baca nilai) setiap semester, yang selalu menyusun jadwal belajar mandiri setiap harinya, maka hukum tabur tuai akan membahagiakan. Semakin banyak yang ditabur, semakin banyak yang dituai, sebaliknya semakin sedikit sedikit pula yang dituai..
Sahabat, telah ribuan tahun, Nabi Yesaya mengingatkan umat manusia untuk menyadari bahwa manusia adalah bagian dari alam. Namun, mengapa peringatan tersebut tidak pernah mengubah perilaku manusia? Mengapa manusia, selalu saja, menempatkan alam sebagai ‘entitas’ yang harus dieksplorasi-dimanfaat demi kekayaan yang fana? Mengapa tidak tumbuh-berkembangkang kesadaran bahwa merusak alam berarti menghancurkan masa depan masyarakat-bangsa-negara? Sangat sederhana jawabnya, “Kita tidak lagi mampu melihat dengan dengan mata hati”.
Fisik-lahiriah mata kita normal. Kita bisa melihat-menonton-menyaksikan. Tapi, sebantas pada penginderaan dengan penglihatan. Artinya, mata hanya sebatas merekam yang “kasat mata” (terlihat): apa, siapa, di mana? Orang melihat “orang-orang yang bertanggung jawab” sedang membabat hutan, namun tak dapat berbuat apa-apa.
Orang melihat ‘ada perilaku menyimpang dalam pembuatan makanan-minuman entah dengan menggunakan bahan-bahan yang mematikan-racun-zat pewarna pakaian, namun orang tak berdaya untuk menyapa-mengingatkan. Orang menyaksikan terjadi pendangkalan dasar sungai akibat orang dengan membabi-buta membuang sampah, namun tak berdaya untuk mencegah.
Orang melihat bukit-bukit berubah menjadi villa atau rumah mewah, tapi memilih diam takut akibat yang diderita. Sahabat, tanpa kemampuan melihat dengan mata hati, hidup bermasyarakat-berbangsa-bernegara akan menjadi kering-keropos. Dasar kebersamaan hanyalah basa-basi. Orang gampang mengampuni dan melupakan perilaku menyimpang yang setiap saat dilihat-disaksikan.
Melihat dengan mata hati bersyumber dari sikap sembah-rasa tobat-relasi mendalam dengan Tuhan Sang Penguasa Alam. Melihat dengan mata hati menjadikan seseorang cerdas dalam merasa, arif dalam bertutur-kata, bijak dalam berperilaku.
Melihat dengan mata hati, akhirnya, wujud kuatnya relasi dengan Tuhan. Artinya, tutur kata-perilaku-perbuatan terfokus pada keyakinan Ad Maiorem Dei Gloriam: demi kemuliaan Tuhan. Melihat dengan mata hati merupakan wujud kedewasaan iman yang tidak hanya berhenti pada tataran “percaya (believe), tetapi sampai pada trust-faith.
Tertanam dalam lubuk hati terdalam, “Saya berdosa bila hidupku tidak menjadi saluran berkat-kasih-pencerahan-kedamaian-kebahagiaan.” Keyakinan demi kemuliaan Tuhan dan ‘merasa berdosa’ bila tidak memancarkan sinar kasih Tuhan menjadikan setiap orang untuk hidup rukun. Tidak hanya dengan dirinya sendiri, tetapi juga pada sesama-alam-Tuhan.
Sahabat, marilah kita berjuang dan berlomba-lomba mengasah ‘mata hati’ kita agar hidup dan kehidupan yang kita jalani ini berkenan di hadirat Tuhan serta memberdayakan-mencerahkan sesama kita tanpa melihat perbedaan suku-ras-golongan-agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar