Minggu, 14 Maret 2021

REFLEKSI : 43 RUMAH KACA

Tuhan, Engkau menyelidiki aku dan mengenal aku. Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri. Engkau mengerti pikiranku. Engkau memeriksa aku kalau aku berjalan atau berdidi.

Sebab, sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, telah Engkau ketahui. Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu. (Mazmur 139: 1-4, 7).

Aku tidak habis mengerti bagaimana kerja Google. Sungguh, pikiranku tak mampu memahaminya. Rasa kagum, penasaran, terkesan hingga kini tetap saja melekat erat. Betapa tidak?

Apa pun yang aku lakukan sekitika terekam. Seolah menjadi jejak langkah. Bila aku ‘search geogle’ aku dapat melihat apa yang telah aku lakukan.

Aku menjadi tahu tulisan-tulisanku di berbagai majalah dan surat kabar, sehingga mempermudah untuk mendokumentasi. Aku menjadi tahu buku-buku yang pernah aku tulis dipakai oleh siapa saja, tersimpan di sekolah mana saja, perpustakaan, perguruan tinggi, atau bahkan sebagai referensi dalam karya ilmiah entah skripsi, tesis dan desertasi.

Aku menjadi tahu berapa karyaku yang tersimpan di Goodreads, Slideshares, atau Googlebooks

Tidak hanya itu. Apa kata orang dan komentar orang dari segala penjuru, seketika melekat dalam namaku. Seolah, google mengikuti ke mana pun aku pergi.

Seolah google merekam apa yang aku ‘omongkan’ dan orang lain ‘omongkan tentang aku’. Seolah mengcopy yang aku tuliskan dan orang tulis tentang aku. Seolah, aku tinggal di rumah kaca yang tak bisa terhindar dan menghindar.

Memang, aku pun beruntung, seketika aku bisa melihat sejauh mana aku berbuat selaras dengan penghayatan tentang hidup, berkarya, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, mendunia.

Hidup kita seperti rumah kaca. Transparan, terlihat dari mana pun. Kita tidak dapat menyembunyikan segala sesuatu. Seolah dari berbagai sudut terpasang kamera yang akan merekam dan menyebarluaskan apa yang kita katakan, apa yang kita lakukan.

Sahabat, begitu pun relasi kita dengan Tuhan, apa pun agama dan kepercayaan kita, sebagaimana terungkap dalam ‘puisi agung’ Daud: Mazmur. Tuhan mahatahu-maha dahsyat hingga kita tak bisa bersembunyi di hadapan Tuhan Yang Mahabesar. Kita tak bisa “berkutik, berkelit, menghindar dari Tuhan. Bahkan, sebelum mulut kita mengucap kata.

"Tuhan, Engkau menyelidiki aku dan mengenal aku. Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri. Engkau mengerti pikiranku. Engkau memeriksa aku kalau aku berjalan atau berdidi.

Sebab, sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, telah Engkau ketahui. Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu. (Mazmur 139: 1-4, 7).

Tuhan tahu apa yang kita pikir dan rasakan. Sebelum tangan kita gerakkan, Tuhan tahu apa yang akan kita lakukan dan kerjakan. Sebelum kaki kita langkahkan, Tuhan tahu tempat mana yang akan kita tuju.

Sebelum kita berkeluh kesah-memohon-mengiba, Tuhan telah menyediakan apa yang kita butuhkan dengan berlimpah-ruah. Inilah iman. Dan, inilah penghayatan hidup yang Tuhan kehendaki.

Menyadari realitas hidup dan kehidupan kita itulah, selayaknya kita selalu berpikir dengan benar, merasa dengan benar, bertutur dengan benar, bertindak dengan benar. Jika kita tidak berpikir bahwa kita bisa sukses, maka kita pun tidak pernah akan sukses. 


 

Jika kita tidak berpikir bahwa Tuhan akan mencukupi apa pun kebutuhan kita tepat waktu, kita pun tak akan menerima sesuatu. Saat pikiran-pikiran kita dikuasai kegagalan, kita pun menjadi orang gagal.

Saat pikiran-pikiran kita dikuasai kesedihan, kesengsaraan, penderitaan, kita pun menjadi orang yang selalu pesimis, curiga, berprasangka buruk. Menjadi pergulatan iman untuk hidup dalam pikiran-perasaan Tuhan (Filipi 2: 5-6).

Saat kita bergulat dalam pikiran-pikiran kemenangan, kemurahan, kerendahan hati, pengharapan, pengudusan, tidak akan ada yang mampu membendung ‘Kuasa Tuhan’ mewujudkan dalam diri kita.

Sahabat, pikiran kita seperti transmisi dalam sebuah mobil. Ada persneling maju dan mundur. Kita dapat memilih ke mana kita akan melangkah.

Jika kita tetap sadar bahwa sebagai orang beriman kita hidup dalam rumah kaca maka hidup kita fokus pada Jalan Tuhan.

Inilah pergulatan hidup yang Tuhan kehendaki.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...