Padang Gurun dalam Perjanjian Lama disebut Yeshimmon yang berarti tempat pembinasaan. Sifat dan situasi padang gurun yang tandus, kering, dan serba sulit, akan menjadikan orang mengalami kesulitan bahkan kebinasaan.
Di tempat sulit semacam inilah Yesus dicobai oleh setan. Benar kata-kata Kitab Suci: 'Emas diuji dalam dapur api, manusia diuji oleh kesulitan dan tantangan'.
Suatu hal yang tidak dapat kita ingkari dalam pergumulan hidup adalah “saat-saat padang gurun’. Saat kita merasa jenuh-capai-lelah-lesu. Bahkan, masa bodoh, tidak hanya pada orang-orang sekitar, tetapi juga pada diri sendiri. ‘Saat-saat padang gurun’ adalah saat-saat krisis-suntuk.
Dalam situasi yang demikian tidak jarang kita menyalahkan Tuhan:
1. untuk apa berdoa bila tidak pernah dikabulkan,
untuk apa berbuat baik bila menjadi petaka,
untuk apa mencintai perbedaan bila yang ada permusuhan,
untuk apa berjuang demi tegaknya keadilan-kesejahteraan bila terkucilkan,
untuk apa beribadat bila yang ada hanya kemunafikan.
Tuhan kita tempatkan sebagai ‘penyebab’ terjadinya hal-hal yang menjadikan kita jenuh, capai, lelah, lesu, SUNTUK.
“Saat-saat padang gurun’ menjadikan kita menarik dari segala aktivitas. Mendorong kita untuk bersikap apatis. Bukan karena ‘panasnya’ pada gurun, bukan hanya ‘gersangnya’ padang gurun, bukan karena ‘sepinya’ padang gurun, bukan hanya karna ‘hampanya’ padang gurun, tetapi juga semakin banyaknya orang lari-menghindar dari ‘saat-saat padang gurun’.
Menolak-mengingkari ‘saat-saat padang gurun’ menjadikan kita bisu-tuli-gagap. Mengindari ‘saat-saat padang gurun’ mendorong kita untuk berseberangan dengan Yang Mahasuci. Bersembunyi dari terkaman “saat-saat padang gurun” memantapkan kita untuk hidup dalam kemunafikan dan kebohongan.
Kita hidup dengan mengenakan ‘topeng kehidupan’ yang beraneka ragam: ada topeng di tempat ibadah, ada topeng di tempat kerja, ada topeng dalam keluarga, ada topeng dalam pergaulan hidup.
Sahabat, ‘Saat-saat padang gurun’ adalah pengalaman manusiawi. Pengalaman wajar dalam proses pendewasaan iman. Pengalaman yang harus dijalani-diterima-dihadapi. Pengalaman yang tidak harus dihadapi dengan panik-kalut.
Tetapi, pengalaman untuk lebih percaya, untuk lebih setia, untuk lebih dewasa dalam penghayatan imannya. Bukankah Yesus sendiri memberi contoh bagaimana mengubah ‘saat-saat padang gurun’ menjadi ‘retret agung’ hingga menemukan jalan Tuhan yang telah digariskan?
“Yesus meninggalkan daerah Tirus pergi ke Danau Galilea. Di situ orang membawa kepada-Nya seorang tuli yang gagap dan memohon kepada-Nya supaya meletakkan tangan-Nya kepada orang bisu dan gagap itu.
Sambil menengadah ke langit, Yesus menarik napas berkatalah kepadanya, “Efata!” artinya, “Terbukalah!” Maka, terbukalah telinga orang itu dan seketika terlepas pengikat lidahnya lalu ia berkata-kata dengan baik.
Orang-orang pun takjub dan berkata, “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.” ( Markus 7:11-12, 34-37)
Sahabat, hanya ada satu jalan untuk ‘enjoy’ saat-saat padang gurun’; datang pada Yesus. Memohon kepada Yesus untuk mengulurkan tangan-Nya. Meminta kepada Yesus untuk membuka tabir ketulian dan kebisuan.
Dan, percayalah, Yesus akan mengucapkan kata penuh kuasa, “Efata!” Terbukalah!
Ya, kita memohon agar terbukalah matahati kita. Hingga, kita bisa melihat-mendengar-merasa dengan hati tulus-jernih-suci-ikhlas. Hingga kita mampu melihat ‘wajah Tuhan’ setiap saat. Hingga kita mampu mendengar ‘bisikan kasih Tuhan’ setiap tarikan napas kita. Inilah keyakinan.
Dan, inilah pergumulan hidup yang Tuhan kehendaki. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar